LiwaqPena - Sejarah selalu menulis dengan darah, keringat, dan air mata rakyat. Pada masa Jepang, darah itu bernama Romusha jutaan anak bangsa diciduk, digiring, dan dibuang ke tanah entah-berantah. Mereka disuruh menggali tanah, memasang rel, membangun benteng. Tanpa upah, tanpa makan yang cukup, tanpa pulang. Banyak yang hanya meninggalkan nama dalam doa ibu mereka di kampung.
![]() |
| Ilustrasi oleh: team LP |
Di tengah derita itu, muncul wajah Soekarno. Ia bukan mandor dengan cambuk di tangan, bukan pula serdadu Jepang yang berteriak "kerja cepat!". Ia tampil di podium, berbicara dengan suara yang bisa mengguncang jiwa rakyat. Kata-katanya yang dulu mengobarkan semangat melawan Belanda kini dipakai untuk membujuk rakyat bekerja bagi Jepang.
Di sinilah ironi lahir. Seorang pemimpin yang kelak disebut Proklamator, harus berdiri di sisi penjajah, ikut menyuarakan seruan untuk mengisi perut perang Dai Nippon. Sejarah mencatatnya: banyak yang menuduh Soekarno jadi mandor Romusha. Mandor bukan dalam arti pengawas lapangan, tetapi dalam arti penggerak.
Namun sejarah tidak sesederhana hitam dan putih. Soekarno tahu: Jepang adalah penjajah, tetapi juga pintu. Lewat Jepang, ia melihat kesempatan. BPUPKI, PPKI, bendera Merah Putih yang akhirnya bisa dikibarkan semua lahir karena celah yang dibuka dari kerja sama itu. Rakyat menderita, benar. Tetapi dari penderitaan itulah kemerdekaan dipetik.
Sejarah selalu menuntut korban. Romusha adalah korban. Dan Soekarno, suka atau tidak suka, adalah aktor dalam panggung besar itu. Bukan mandor dengan cambuk, tapi bukan pula orang yang tak berlumur noda.
Karena setiap kemerdekaan, pada akhirnya, dibangun di atas tulang belulang orang kecil yang tak pernah disebut namanya.
|LP/tl

1 Komentar
Bapaknya Megawati wkwkwk
BalasHapusTerimakasi Atas Partisipasinya Kawan