Permasalahan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin
kompleks dan rumit manakala ancaman internasional yang terjadi di satu
sisi, pada sisi yang lain muncul masalah internal yaitu maraknya
tuntutan rakyat, yang secara obyektif mengalami suatu kehidupan yang
jauh dari kesejahteraan dan keadilan sosial.
Paradoks antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional ditambah
konflik internal seperti gambaran di atas mengakibatkan suatu tarik
menarik kepentingan yang secara langsung mengancam jati diri bangsa.
Nilai-nilai baru yang masuk baik secara subyektif maupun obyektif serta
terjadinya pergeseran nilai di masyarakat pada akhirnya mengancam
prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia.
Prinsip-prinsip dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar (the founding fathers)
negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip
dasar filsafat bernegara itulah Pancasila. Dengan pemahaman demikan maka
Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia saat ini mengalami
ancaman dari munculnya nilai-nilai baru dari luar dan pergeseran
nilai-nilai yang terjadi.
Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa,
senantiasa memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup
masing-masing , yang berbeda dengan bangsa lain di dunia dan hal inilah
yang disebut sebagai local genius(kecerdasan/kreatifitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan
lokal) bangsa. Dengan demikian bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki
kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup dengan bangsa lain.
Ketika para pendiri negara Indonesia menyiapkan berdirinya negara
Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu
pertanyaan yang fundamental ‘di atas dasar apakah negara Indonesia merdeka ini didirikan’.
Jawaban atas pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi dasar dan
tolok ukur utama bangsa ini meng-Indonesia. Dengan kata lain jati diri
bangsa akan selalu bertolok ukur kepada nilai-nilai Pancasila sebagai
filsafat bangsa.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan
sistem filsafat. Pemahaman demikian memerlukan pengkajian lebih lanjut
menyangkut aspek ontologi, epistimologi, dan aksiologi dari kelima sila
Pancasila.
- Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani “philein “ yang berarti cinta dan “sophia“ yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat menurut asal katanya berarti cinta akan kebijaksanaan,
atau mencintai kebenaran/pengetahuan. Cinta dalam hal ini mempunyai
arti yang seluas-luasnya, yang dapat dikemukakan sebagai keinginan yang
menggebu dan sungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan kebijaksanaan
dapat diartikan sebagai kebenaran yang sejati. Jadi filsafat secara
sederhana dapat diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk
mencari kebenaran yang sejati. Filsafat merupakan Induk Ilmu
pengetahuan. Menurut J. Gredt dalam bukunya “Elementa Philosophiae”
Bahwa filsafat sebagai “Ilmu pengetahuan yang timbul dari
prinsip-prinsip mencari sebab musababnya yang terdalam”.
- Filsafat Pancasila
Menurut Ruslan Abdulgani, bahwa Pancasila merupakan filsafat negara
yang lahir sebagai collectieve Ideologie (cita-cita bersama) dari
seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila
merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father
kita, kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan
menurut Notonagoro, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan
pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila.
- Karakteristik Sistem Filsafat Pancasila
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat
tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu antara lain :
– Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan
utuh (sebagai suatu totalitas). Dengan pengertian lain, apabila tidak
bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya terpisah-pisah, maka
itu bukan Pancasila.
– Pancasila sebagai suatu substansi, artinya unsur asli/permanen/primer Pancasila
sebagai suatu yang ada mandiri, yang unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri.
– Pancasila sebagai suatu realita, artinya ada dalam
diri manusia Indonesia dan masyarakatnya, sebagai suatu kenyataan hidup
bangsa, yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
- Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila
Pancasila ditinjau dari kausal Aristoteles dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Kausa Materialis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan materi/bahan, dalam hal ini Pancasila digali dari nilai-nilai sosial budaya yang ada dalam bangsa Indonesia
- Kausa Formalis, maksudnya sebab yang berhubungan dengan bentuknya, Pancasila yang ada dalam pembukaan UUD ’45 memenuhi syarat formal (kebenaran formal)
- Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan BPUPKI dan PPKI dalam menyusun dan merumuskan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia
- Kausa Finalis, maksudnya berhubungan dengan tujuannya, tujuan diusulkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
Inti atau esensi sila-sila Pancasila meliputi :
- Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
- Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
- Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri
- Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong
- Adil, yaitu memberikan keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
- Hakikat Nilai-nilai Pancasila
Nilai adalah suatu ide atau konsep tentang apa yang seseorang
pikirkan merupakan hal yang penting dalam hidupnya. Nilai dapat berada
di dua kawasan : kognitif dan afektif. Nilai adalah ide, bisa dikatakan
konsep dan bisa dikatakan abstraksi (Sidney Simon, 1986). Nilai
merupakan hal yang terkandung dalam hati nurani manusia yang lebih
memberi dasar dan prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan
dan efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi). Langkah-langkah awal
dari “nilai” adalah seperti halnya ide manusia yang merupakan potensi
pokok human being. Nilai tidaklah tampak dalam dunia
pengalaman. Dia nyata dalam jiwa manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan
oleh Sidney B. Simon (1986) bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan
nilai adalah jawaban yang jujur tapi benar dari pertanyaan “what you are really, really, really, want.”
Studi tentang nilai termasuk dalam ruang lingkup estetika dan etika.
Estetika cenderung kepada studi dan justifikasi yang menyangkut tentang
manusia memikirkan keindahan, atau apa yang mereka senangi. Misalnya
mempersoalkan atau menceritakan si rambut panjang, pria pemakai
anting-anting, nyanyian-nyanyian bising dan bentuk-bentuk seni lain.
Sedangkan etika cenderung kepada studi dan justifikasi tentang aturan
atau bagaimana manusia berperilaku. Ungkapan etika sering timbul dari
pertanyaan-pertanyaan yang mempertentangkan antara benar salah,
baik-buruk. Pada dasarnya studi tentang etika merupakan pelajaran
tentang moral yang secara langsung merupakan pemahaman tentang apa itu
benar dan salah.
Bangsa Indonesia sejak awal mendirikan negara, berkonsensus untuk
memegang dan menganut Pancasila sebagai sumber inspirasi, nilai dan
moral bangsa. Konsensus bahwa Pancasila sebagai anutan untuk
pengembangan nilai dan moral bangsa ini secara ilmiah filosofis
merupakan pemufakatan yang normatif. Secara epistemologikal bangsa
Indonesia punya keyakinan bahwa nilai dan moral yang terpancar dari asas
Pancasila ini sebagai suatu hasil sublimasi dan kritalisasi dari sistem
nilai budaya bangsa dan agama yang kesemuanya bergerak vertikal dan
horizontal serta dinamis dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya untuk
mensinkronkan dasar filosofia-ideologi menjadi wujud jati diri bangsa
yang nyata dan konsekuen secara aksiologikal bangsa dan negara Indonesia
berkehendak untuk mengerti, menghayati, membudayakan dan melaksanakan
Pancasila. Upaya ini dikembangkan melalui jalur keluarga, masyarakat dan
sekolah.
Refleksi filsafat yang dikembangkan oleh Notonegoro untuk menggali
nilai-nilai abstrak, hakikat nilai-nilai Pancasila, ternyata kemudian
dijadikan pangkal tolak pelaksanaannya yang berujud konsep pengamalan
yang bersifat subyektif dan obyektif. Pengamalan secara obyektif adalah
pengamalan di bidang kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan, yang
penjelasannya berupa suatu perangkat ketentuan hukum yang secara
hierarkhis berupa pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang Organik
dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Pengamalan secara subyektif
adalah pengamalan yang dilakukan oleh manusia individual, baik sebagai
pribadi maupun sebagai warga masyarakat ataupun sebagai pemegang
kekuasaan, yang penjelmaannya berupa tingkah laku dan sikap dalam hidup
sehari-hari.
Nilai-nilai yang bersumber dari hakikat Tuhan, manusia, satu rakyat
dan adil dijabarkan menjadi konsep Etika Pancasila, bahwa hakikat
manusia Indonesia adalah untuk memiliki sifat dan keadaan yang berperi
Ketuhanan Yang Maha Esa, berperi Kemanusiaan, berperi Kebangsaan,
berperi Kerakyatan dan berperi Keadilan Sosial. Konsep Filsafat
Pancasila dijabarkan menjadi sistem Etika Pancasila yang bercorak
normatif.
Ciri atau karakteristik berpikir filsafat adalah:
- a) sistematis, b) mendalam, c) mendasar, d) analitik, e) komprehensif, f) spekulatif, g) representatif, dan h) evaluatif
Cabang-cabang filsafat meliputi:
- Epistemologi (filsafat pengetahuan)
- Etika (filsafat moral)
- Estetika (filsafat seni)
- Metafisika (membicarakan tentang segala sesuatu dibalik yang ada)
- Politik (filsafat pemerintahan)
- Filsafat Agama
- Filsafat Ilmu
- Filsafat Pendidikan
- Filsafat hukum
- Filsafat Sejarah
- Filsafat Matematika
- Kosmologi (membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang teratur)
Aliran Filsafat meliputi :
- Rationalisme f. Stoisme i. Materialisme
- Idealisme g. Marxisme j. Utilitarianisme
- Positivisme h. Realisme k. Spiritualisme
- Eksistensialisme l. Liberalisme
- Hedonisme
II. KAJIAN ONTOLOGIS
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila sila Pancasila.
Menurut Notonagoro hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa ?, karena manusia merupakan subyek hukum pokok dari sila sila Pancasila.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berkeuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan indonesia,
berkerakyatan yaang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia pada hakekatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Jadi secara ontologis hakekat dasar keberadaan dari sila sila
Pancasila adalah manusia. Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut
mengemukakan bahwa manusia sebagai pendukung pokok sila sila Pancasila
secara ontologi memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan
kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Juga sebagai makluk individu
dan sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makluk pribadi dan
sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, maka secara
hierarkhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai
keempat sila sila Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya Pancasila secagai dasar filsafat negara Republik
Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan
kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa
sifat kodrat monodualis, sebagai makluk individu sekaligus juga sebagai
makluk sosial, serta kedudukannya sebagai makluk pribadi yang berdiri
sendiri juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan. Konsekuensinya segala
aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai nilai Pancasila
yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang
mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis tersebut.
Kemudian seluruh nilai nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka
dan jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai
nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara,
tugas dan kewajiban negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral
negara dan segala sapek penyelenggaraan negara lainnya.
III. KAJIAN EPISTIMOLOGI
Kajian epistimologi filsafat pancasila dimaksudkan sebagai upaya
untuk mencari hakekat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal
ini dimungkinkan karena epistimologi merupakan bidang filsafat yang
membahas hakekat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian
epistimologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya.
Oleh karena itu dasar epistimologis Pancasila sangat berkaitan erat
dengan konsep dasarnya tentang hakekat manusia.
Menurut Titus(1984: 20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu :
- tentang sumber pengetahuan manusia;
- tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
- tentang watak pengetahuan manusia.
Epistimologi Pancasila sebagai suatu obyek kajian pengetahuan pada
hakekatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan
pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana
telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa
Indonesia sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa
nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila.
Selanjutnya susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka
Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti
susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila
Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat
hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana :
- Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya
- Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
- Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima
- Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima
- Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah maka susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang
menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis
Pancasila juga mennyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu,
dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila
Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberilandasan
kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada
hakekatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistimologi Pancasila
juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai
tingkat kebenaran yang tertinggi.
Selanjutnya kebenaran dan pengetahuan manusia merupakan suatu sintesa
yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa,
dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu dalam sila ketiga, keempat dan kelinma, maka epistimologi
Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan
hakekat sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.
Sebagai suatu paham epistimologi, maka Pancasila mendasarkan
pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak bebas nilai
karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta
moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara
epistimologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun
perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
V.KAJIAN AKSIOLOGI
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya
membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan tentang
Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu
kesatuan. Selanjutnya aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita
membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Istilah nilai dalam kajian
filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga
diartikan sebagai “keberhargaan” (worth)atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya sesuatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian ( Frankena, 229).
Di dalam Dictionary of sociology an related sciences
dikemukakan bahwa nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada
hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek.
Sesuatu itu mengandung nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang
melekat pada sesuatu itu, misalnya; bunga itu indah, perbuatan itu baik.
Indah dan baik adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan
perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu
kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya
nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam
menentukan pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa
hakekat nilai yang tertinggi adalah nilai material, sementara kalangan
hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan.
Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat dikelompokan
pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena
berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia. Hal ini bersifat
subjektif, namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakekatnya sesuatu
itu melekat pada dirinya sendiri memang bernilai. Hal ini merupakan
pandangan dari paham objektivisme.
Notonagoro merinci tentang nilai ada yang bersifat material dan
nonmaterial. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang
berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup
masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun
ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang
nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah diukur menggunakan panca
indra maupun alat pengukur. Tetapi nilai yang bersifat rohaniah sulit
diukur, tetapi dapat juga dilakukan dengan hati nurani manusia sebagai
alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan
manusia (Kaelan, 2005).
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai
kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material
dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong
nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap
dan harmonis seperti nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai
keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai
kesucian yang secara keseluruhan bersifat sisttematik-hierarkhis, dimana
sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua
sila-sila Pancasila (Darmodihardjo, 1978).
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila(subcriber of values Pancasila).
Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai
pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui,
menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan,
penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu
akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa
Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah
menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan menusia dan bangsa
Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah
pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.
- FILSAFAT PANCASILA DALAM KONTEKS PKN
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu nilai-nilai yang
bersifat sistematis, fundamental dan menyeluruh. Untuk itu sila-sila
Pancasila merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat bulat dan utuh,
hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila
Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila
bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan
memiliki esensi serta makna yang utuh.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia
mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan
dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan
bertolak dari pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan
hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, yang merupakan masyarakat
hukum (legal society).
Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat
bahwa manusia sebagai warga negara sebagai persekutuan hidup adalah
berkedudukan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa (hakikat sila pertama).
Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuik mewujudkan harkat dan
martabat manusia sebagai mahluk yang berbudaya atau mahluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk mewujudkan suatu negara sebagai suatu organisasi hidup manusia harus membentuk suatu ikatan sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga).
Terwujudnya persatuan dan kesatuan akan melahirkan rakyat sebagai suatu
bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu. Konsekuensinya
dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat
merupakan asal mula kekuasaan negara. Maka negara harus bersifat
demokratis, hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin, baik sebagai
individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat).
Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama, maka dalam hidup
kenegaraan harus mewujjudkan jaminan perlindungan bagi seluruh warga,
sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin
berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan
bersama/kehidupan (hakikat sila kelima)
- DATA DAN FAKTA
PROSES PERUMUSAN PANCASILA
Proses perumusan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari sidang-sidang
yang terjadi di BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945). Dalam sidang tersebut
Mr. Muhammad Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
1) Peri Kebangsaan,
2) Peri Kemanusiaan,
3) Ke-Tuhanan,
4) Peri-kerakyatan, (a. Permusyawaratan, b. Perwakilan, c. kebijaksanaan), dan
5) Kesejahteraan Rakyat (keadilan sosial).
Sedangkan Prof. Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut:
1) teori negara perseorangan (individualitis),
2) paham negara kelas (class theory), dan
3) paham negara integralistik.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan falsafah negara Indonesia Soepomo mengusulkan :
- negara nasional yang bersatu,
- dianjurkan supaya warga negara tunduk kepada Tuhan,
- dalam susunan pemerintahan negara Indonesia harus dibentuk sistem badan permusyawaratan,
- ekonomi negara bersifat kekeluargaan, dan) mengenai hubungan antar bangsa menganjurkan upaya-upaya Indonesia bersifat negara Asia Timur Raya.
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan dasar negara dalam lima prinsip dasar, yaitu:
- nasionalisme (kebangsaan Indonesia),
- internasionalisme (peri-kemanusiaan),
- mufakat (demokrasi),
- kesejahteraan sosial.
- ketuhanan yang berkebudayaan (juga Ketuhanan Yang Maha Esa).
- DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fukuyama, F. 1989, The End of History, dalam National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari Modernity and Its Future, H. 48, Polity Press, Cambridge.
Kaelan, 2005, Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa Negara Indonesia,Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta.
Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.
Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat Pancasila, Gramedia, Jakarta.
Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran tantang Pancasila, CSIS, Jakarta.
Suseno, Franz, Magnis, 1987, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Modern, PT Gramedia, Jakarta.
Titus Harold, and Marilyn S., Smith, Richard T. Nolan, 1984, Living Issues Philosophy, diterjemahkan oleh Rasyidi, Penerbit bulan Bintang, Jakarta.
0 Komentar
Terimakasi Atas Partisipasinya Kawan