Bermula desa tersiram
wangi politik “Apa boleh buat” Gara-gara Pki jua adanya. Ingaty slogan, “Ganyang tujuh setan desa”? Ingat puja puji “Jika
dulu desa serba salah kinni desa serba benar”? ingat wangsit lin pio yang
tertuang dalam kalimat “desa mengepung Kota” ? sesudah itu desa terus menerus
naik panggung. Lakon apa saja dia muncul diiringi tempik sorak dan mata
berkaca-kaca. Alangkah polosnya dikau! Alangkah besarnya jasa dikau! Andaikan dikau
tidur pulas seminggu suntuk saja, matikah awak di kota, lewat maag atau lewat
ayan
Menyusul “ Soeharto anak desa” menyusul “ perawan desa”. Menyusul
“Koran masuk desa” yang barangkali bunyinya dibalik “Desa masuk koran” menyusul
pencalonan “kepala desa” yang ramai dan anehnya bukan main bagaikan cerita 1001
malam, sebab syaratnya ada yang berterang-terang dan ada yang bergelap-gelap. Andai
kata Ronald Reagan mau ikut jadi calon dan terang-terangan dia mengaku dari partai
Republik, saya berani bertaruh dia akan gugur hanya pada tingkat pencalonan
saja. Lebih gampang baginya jadi presiden amerika dari pada jadi kepala desa
Ratte
Menyusul lagi “ABRI Masuk Desa”. Ini bukan saja tidak ada
salahnya, tapi juga bukan barang baru. Disini atau dimancanegara. Mao Ze Dong
sendiri paling gemar masalah manunggal-manunggalan, terpadu-terpadu,
merakyat-merakyatan. Diambil bulu angsa, dia cemplungkan ke botol tinta, dia
coret-coret dari atas kebawah sehingga berbunyi “Tentara dan rakyat itu
bagaikan ikan dan air”. Barang siapa pernah tercabut kukunya dari ujung
telunjuk paham betul betapa pentingnya bunyi slogan itu.
Kemudian menyusul lagi “listrik masuk desa”. Jika selama
ini listrik yang bertegangan tinggi
cuman lewat saja diatas wuwungan penduduk, dengan atau tanpa permisi, sekarang
diusahakan tidak begitu lagi. Walau sedikit dan ala kadarnya, singgah sululah
demi sopan santun. Jika sang kawat tidak sempat turun, generator pun jadilah,
yang penting ada cahaya supaya sedikit beda dengan nenek moyang yang hidup di gua-gua:
kalau lenin pernah berucap “Tanpa listrik tidak ada sosialisme”, apa salahnya
kita berucap “Tanpa listrik sukar memahami, mendalami, dan menghayati pancasila”?
bagaimana bisa baca koran dan menikmati pemandangan ABRI masuk desa tanpa
Listrik?
Baiklah “Listrik masuk desa”. Masuk lewat pintu mana? Semakin
kiprah pembangunan, semakin ruwet jalur anggaran. Ada APBN, ada APBD, adan
inpres ada ingub. Dari bejana yang manakah air penyejuk itu mesti diciduk? Penduduk
sebetulnya tidak ambil pusing model anggaran mana yang digunakan, pokoknya
begitu menjentil saklar, begitu bola lampu berpijar. Dan ongkos ini itunya
tidak tidak membikin mereka menahan lapar. Buat apa masuk kalau biaya besar?
Kata sahibulhikayat, inpreslah yang membiayai “listrik
masuk desa” itu. Alhamdu lillahi rabbil akamin. Dengan kegesitan yang
berbau teladan, kepala desa darmaraja, kecamatan darmaraja, kabupaten semedang
memukul kentongan mamberitahu penduduk empat (4) bulan yang lalu bahwa presiden
akan memberikan generator pembangkit listrik berkekuatan 40 KVA. Hanya itu? Tentu
saja tidak. Penduduk diharuskan menyetor Rp10.000.00. berhubung semangat yang
berkoar-koar dalam rangka ingin membangun manusia indonesia seutuhnya, sang
kepala desa darmaraja tidak puas hanya menjadi kepala desa melulu. Dia juga
jadi BUUD, dandia juga kepala proyek listrik itu. Hasilnya? Sampai hari ini
desa darmaraja masih gelap gulita sehingga calon istri sendiripun sukar sukar
terlihat alis matanya. Ia berbahaya buat kesinambungan.
Desa jatiserang, kecamatan kadipaten, kabupaten
majalengka lebih “Ilmiah” aturannya menghadapi masalah ipres yang sama ini. Biaya
yang mesti dikeluarkan penduduk, sampai listriknya menyala Rp 100.000.00.
berpegang pada budaya kredit, setoran pertama tanda jadi Rp 17.500.00. sisanya
dicicil perbulan Rp 7.500.00. sebelas bulan menyetor bereslah itu. Ada pungutan
lain? Jangan khawatir itu belum termasuk pungutan stroom per bulan. Jika “Listrik
masuk desa” itu merupakan sumbangan ipres, rasanya model begini tidak ada
bau-bau sumbangan. Saya pikir, berhubungan penduduk desa yang jauh-jauh itu
sudah terbiasa bergelap-gelap, mengapa kita tidak lestarikan saja supaya
sambung sinambung..!!!
Tulisan ini adalah salah satu tulisan dari Sahabat Mahbud Junaidi yang berjudul "Kolom Demi Kolom-Humor humor bernas sang maestro" saya tertarik untuk mengutip dari beberapa perkataan sahabat Mahbud Djunaidi karena apa yang beliau katakan justru betul-betul terjadi di wilayah saya tepatnya di Desa Ratte Kecamatan Tutar kabupaten Polewali Mandar provinsi sulawesi barat.
| Azrhi_Tzutar
Penulis : Asri Hajji (seorang pemuda dari pelosok yang kenyang dengan janji politik)

2 Komentar
begitulah arus liku2 politik di negara ini.
BalasHapusNegeriku terlalu lama tidur
BalasHapusTerimakasi Atas Partisipasinya Kawan