Ihwal Desa (Kolom Demi Kolom) - Mahbud Djunaidi


            Bermula desa tersiram wangi politik “Apa boleh buat” Gara-gara Pki jua adanya. Ingaty slogan,  “Ganyang tujuh setan desa”? Ingat puja puji “Jika dulu desa serba salah kinni desa serba benar”? ingat wangsit lin pio yang tertuang dalam kalimat “desa mengepung Kota” ? sesudah itu desa terus menerus naik panggung. Lakon apa saja dia muncul diiringi tempik sorak dan mata berkaca-kaca. Alangkah polosnya dikau! Alangkah besarnya jasa dikau! Andaikan dikau tidur pulas seminggu suntuk saja, matikah awak di kota, lewat maag atau lewat ayan

Menyusul “ Soeharto anak desa” menyusul “ perawan desa”. Menyusul “Koran masuk desa” yang barangkali bunyinya dibalik “Desa masuk koran” menyusul pencalonan “kepala desa” yang ramai dan anehnya bukan main bagaikan cerita 1001 malam, sebab syaratnya ada yang berterang-terang dan ada yang bergelap-gelap. Andai kata Ronald Reagan mau ikut jadi calon dan terang-terangan dia mengaku dari partai Republik, saya berani bertaruh dia akan gugur hanya pada tingkat pencalonan saja. Lebih gampang baginya jadi presiden amerika dari pada jadi kepala desa Ratte
           
Menyusul lagi “ABRI Masuk Desa”. Ini bukan saja tidak ada salahnya, tapi juga bukan barang baru. Disini atau dimancanegara. Mao Ze Dong sendiri paling gemar masalah manunggal-manunggalan, terpadu-terpadu, merakyat-merakyatan. Diambil bulu angsa, dia cemplungkan ke botol tinta, dia coret-coret dari atas kebawah sehingga berbunyi “Tentara dan rakyat itu bagaikan ikan dan air”. Barang siapa pernah tercabut kukunya dari ujung telunjuk paham betul betapa pentingnya bunyi slogan itu.

Kemudian menyusul lagi “listrik masuk desa”. Jika selama ini listrik yang bertegangan  tinggi cuman lewat saja diatas wuwungan penduduk, dengan atau tanpa permisi, sekarang diusahakan tidak begitu lagi. Walau sedikit dan ala kadarnya, singgah sululah demi sopan santun. Jika sang kawat tidak sempat turun, generator pun jadilah, yang penting ada cahaya supaya sedikit beda dengan nenek moyang yang hidup di gua-gua: kalau lenin pernah berucap “Tanpa listrik tidak ada sosialisme”, apa salahnya kita berucap “Tanpa listrik sukar memahami, mendalami, dan menghayati pancasila”? bagaimana bisa baca koran dan menikmati pemandangan ABRI masuk desa tanpa Listrik?

Baiklah “Listrik masuk desa”. Masuk lewat pintu mana? Semakin kiprah pembangunan, semakin ruwet jalur anggaran. Ada APBN, ada APBD, adan inpres ada ingub. Dari bejana yang manakah air penyejuk itu mesti diciduk? Penduduk sebetulnya tidak ambil pusing model anggaran mana yang digunakan, pokoknya begitu menjentil saklar, begitu bola lampu berpijar. Dan ongkos ini itunya tidak tidak membikin mereka menahan lapar. Buat apa masuk kalau biaya besar?

Kata sahibulhikayat, inpreslah yang membiayai “listrik masuk desa” itu. Alhamdu lillahi rabbil akamin. Dengan kegesitan yang berbau teladan, kepala desa darmaraja, kecamatan darmaraja, kabupaten semedang memukul kentongan mamberitahu penduduk empat (4) bulan yang lalu bahwa presiden akan memberikan generator pembangkit listrik berkekuatan 40 KVA. Hanya itu? Tentu saja tidak. Penduduk diharuskan menyetor Rp10.000.00. berhubung semangat yang berkoar-koar dalam rangka ingin membangun manusia indonesia seutuhnya, sang kepala desa darmaraja tidak puas hanya menjadi kepala desa melulu. Dia juga jadi BUUD, dandia juga kepala proyek listrik itu. Hasilnya? Sampai hari ini desa darmaraja masih gelap gulita sehingga calon istri sendiripun sukar sukar terlihat alis matanya. Ia berbahaya buat kesinambungan.

Desa jatiserang, kecamatan kadipaten, kabupaten majalengka lebih “Ilmiah” aturannya menghadapi masalah ipres yang sama ini. Biaya yang mesti dikeluarkan penduduk, sampai listriknya menyala Rp 100.000.00. berpegang pada budaya kredit, setoran pertama tanda jadi Rp 17.500.00. sisanya dicicil perbulan Rp 7.500.00. sebelas bulan menyetor bereslah itu. Ada pungutan lain? Jangan khawatir itu belum termasuk pungutan stroom per bulan. Jika “Listrik masuk desa” itu merupakan sumbangan ipres, rasanya model begini tidak ada bau-bau sumbangan. Saya pikir, berhubungan penduduk desa yang jauh-jauh itu sudah terbiasa bergelap-gelap, mengapa kita tidak lestarikan saja supaya sambung sinambung..!!!


Tulisan ini adalah salah satu tulisan dari Sahabat Mahbud Junaidi yang berjudul "Kolom Demi Kolom-Humor humor bernas sang maestro" saya tertarik untuk mengutip dari beberapa perkataan sahabat Mahbud Djunaidi karena apa yang beliau katakan justru betul-betul terjadi di wilayah saya tepatnya di Desa Ratte Kecamatan Tutar kabupaten Polewali Mandar provinsi sulawesi barat.

| Azrhi_Tzutar
Penulis : Asri Hajji (seorang pemuda dari pelosok yang kenyang dengan janji politik)

Posting Komentar

2 Komentar

Terimakasi Atas Partisipasinya Kawan