Liwaq Pena - Mereka datang dengan embel-embel "sarjana". Mereka pulang dari kota dengan segudang ijazah dan segunung janji. Mereka menyebut diri "agen perubahan", "penerang desa", "generasi pemimpin masa depan". Tapi pada kenyataannya, banyak dari mereka justru menjelma menjadi lintah darat berdasi yang menghisap keringnan rakyat!
![]() |
| Credit gambar : oleh Liwaq Pena |
Di mana-mana, pemuda-pemuda yang baru saja menuntaskan pendidikannya di bangku kuliah berbondong-bondong kembali ke desa. Bukan untuk membajak sawah atau mengangkat cangkul tidak! Mereka datang untuk berpolitik. Mereka mengejar kursi kepala desa, duduk di BPD, atau masuk dalam jajaran elit birokrasi desa. Mereka mengincar kekuasaan. Dan kekuasaan, dalam kondisi desa yang masih terbelakang dan penuh dengan ketidaktahuan, adalah jalan tercepat untuk menumpuk harta.
Mereka memakan hak rakyat dengan cara yang lebih halus, lebih sistematis, tetapi sama kejinya. Dana Desa yang semestinya menjadi darah kehidupan bagi rakyat kecil untuk membangun irigasi, memperbaiki jalan, menopang perekonomian warga dicaplok dengan licik. Mereka yang mahir menggunakan komputer dan menguasai administrasi, justru memutar laporan keuangan hingga duit rakyat itu masuk ke kantong mereka. Mereka yang seharusnya membawa pemikiran progresif, malah menjadi tukang korupsi baru yang lebih berbahaya karena berpendidikan!
Inilah bentuk pengkhianatan intelektual yang paling nyata! Kaum terpelajar yang seharusnya memimpin perjuangan melawan penindasan, justru berbalik menjadi penindas baru. Mereka memanfaatkan ilmu yang didapat dari kampus, tempat di mana mereka seharusnya diajarkan kejujuran dan tanggung jawab sosial untuk menipu rakyat yang sama sekali tidak mengerti seluk-beluk hukum dan birokrasi.
Mereka tersenyum ramah saat kampanye, bagi-bagi sembako dan janji manis. Tapi begitu kursi diduduki, wajah aslinya muncul: elit baru yang rakus. Mereka bukan lagi representasi suara rakyat, melainkan representasi keserakahan segelintir orang.
Lalu, apa bedanya dengan penjajah dulu? Bedanya hanya pada metode. Jika penjajah menggunakan senjata dan pasukan, mereka menggunakan ijazah dan tipu daya. Jika penjajah merampas dengan terang-terangan, mereka merampas dengan surat keputusan dan peraturan yang dipelintir.
Maka, rakyat harus bangkit! Jangan diam saja melihat pemuda-pemuda berpendidikan tinggi itu datang hanya untuk menguras kekayaan desa. Awasi mereka dengan mata tajam. Tuntut transparansi. Desak setiap rupiah dana desa diumumkan secara terbuka. Jangan mau dibungkus dengan retorika dan janji palsu.
Pemuda sejati adalah mereka yang pulang untuk membangun, bukan untuk menghisap. Pemuda sejati adalah mereka yang membawa cangkul dan pikiran, bukan dasi dan ambisi korup. Jika memang ingin berpolitik, jadilah politikus yang merakyat yang bekerja untuk rakyat, bukan untuk diri sendiri.
Peringatan untuk para pemuda sarjana itu: Jika kalian memang kaum terpelajar, buktikan! Jangan jadi intelektual yang menjual idealismenya untuk kekuasaan dan uang. Sejarah akan mencatat kalian sebagai pengkhianat bangsa jika kalian memakan hak rakyat kecil.
Dan untuk rakyat jangan takut! Lawan dengan pengetahuan, lawan dengan organisasi, lawan dengan semangat solidaritas. Sebab, hanya dengan perlawanan yang terorganisir, kalian bisa menggulingkan para "lintah darat berdasi" itu!
Siapa yang tidak mendengar jeritan rakyat kecil, adalah pengkhianat. Siapa yang memakan hak rakyat, adalah musuh rakyat.

0 Komentar
Terimakasi Atas Partisipasinya Kawan