7 Fakta Tersembunyi Sumpah Pemuda yang Tidak Diajarkan di Sekolah


LiwaqPena Setiap tanggal 28 Oktober, kita disuguhi dengan tiga baris ikrar sakti: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Kita hafal di luar kepala, upacara, lalu selesai. Tapi, tahukah kamu bahwa di balik teks yang singkat itu, tersimpan drama, perdebatan sengit, dan fakta-fakta "nakal" yang justru membuatnya sangat manusiawi dan relevan hingga hari ini?

Inilah sisi lain Sumpah Pemuda yang jarang diungkap.

1. Kongresnya Bukan Hanya Satu Hari, dan Medannya Sangat Berat

Kita sering membayangkan Sumpah Pemuda terjadi dalam satu rapat akbar. Faktanya, Kongres Pemuda II berlangsung selama dua hari, pada 27-28 Oktober 1928. Rapat-rapatnya pun tidak selalu lancar. Pemerintah Kolonial Belanda mengawasi ketat dan sempat mengancam akan membubarkan pertemuan. Para pemuda harus berstrategi, pindah-pindah tempat, dan berargumentasi dengan cerdik untuk meyakinkan pemerintah bahwa ini hanyalah pertemuan budaya, bukan politik. Ini adalah aksi "ngelabui" penguasa yang cerdas.

2. Perempuan di Balik Layar: Sie Kong Lian yang Terlupakan

Nama Soegondo Djojopoespito (ketua kongres) dan Wage Rudolf Supratman (penggubah Indonesia Raya) mungkin sudah familiar. Tapi, bagaimana dengan Sie Kong Lian?

Dialah pemilik rumah di Jalan Kramat Raya 106 yang dengan berani meminjamkan rumahnya sebagai tempat diselenggarakannya Kongres Pemuda II.Bayangkan risikonya kala itu. Tanpa jasanya, mungkin kongres tidak akan berjalan mulus. Ini mengajarkan kita bahwa pahlawan tidak hanya mereka yang di podium, tetapi juga mereka yang menyediakan panggung.

3. Perdebatan Sengat Soal Bahasa: Bahasa Belanda vs. Bahasa Melayu vs. Bahasa Indonesia

Ini mungkin fakta paling mengejutkan. Bahasa Belanda sempat menjadi kandidat kuat bahasa persatuan! Sebagian peserta menganggap bahasa Belanda lebih intelektual dan modern. Sementara itu, ada juga usulan untuk memakai bahasa Jawa atau Sunda yang merupakan bahasa mayoritas.

Namun, para pemuda visioner seperti Mohammad Yamin justru berargumen keras untuk Bahasa Melayu (yang kemudian diikrarkan sebagai Bahasa Indonesia). Alasannya? Bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca (bahasa penghubung) di seluruh Nusantara, mudah dipelajari, dan tidak terkait dengan strata sosial tertentu (berbeda dengan bahasa Jawa yang memiliki tingkatannya). Mereka memilih yang praktis, egaliter, dan mempersatukan, bukan yang elitis. Sebuah keputusan brilian yang mendemokratisasikan komunikasi.

4. Lagu Indonesia Raya Diperdengarkan Pertama Kali... Tanpa Syair!

Ya, kamu tidak salah baca. Saat WR Supratman pertama kali memperdengarkan Indonesia Raya di kongres, ia memainkannya dengan biola, tanpa dinyanyikan! Alasannya, khawatir akan memicu provokasi dan kongres akan dibubarkan paksa oleh polisi Belanda. Para peserta hanya mendengarkan melodi khidmatnya. Bayangkan suasana haru dan tegang saat itu. Lagu kebangsaan kita lahir dalam bentuk instrumental karena situasi yang represif.

5. Sumpah Pemuda Bukan "Produk Final" yang Sempurna

Naskah Sumpah Pemuda yang kita baca sekarang adalah hasil processing atau penyuntingan. Rumusan awal dari Mohammad Yamin lebih panjang dan rumit. Melalui diskusi dan kompromi, akhirnya disepakati rumusan yang padat, singkat, dan powerful. Ini mengajarkan bahwa persatuan itu dibangun dari kompromi, bukan memaksakan pendapat sendiri. Mereka lebih mementingkan esensi daripada ego.

6. Peserta Kongres Masih Sangat Muda

Usia rata-rata peserta kongres adalah di bawah 25 tahun! Soegondo, sang ketua, baru berusia 23 tahun. Mereka adalah pemuda-pemudi yang masih berstatus mahasiswa atau baru memulai karier. Ini membuktikan bahwa usia muda bukan halangan untuk merancang masa depan bangsa. Mereka tidak menunggu jadi "orang penting" dulu untuk berbuat sesuatu.

Relevansi untuk Pemuda Zaman Now: Ambil Apanya?

Nah, setelah tahu fakta-fakta "dalam"-nya, apa yang bisa kita telan?

1. Persatuan itu Sebuah Pilihan Aktif, Bukan Bawaan. Para pemuda 1928 memilih untuk bersatu meski berasal dari latar belakang yang berbeda. Hari ini, kita justru mudah terpecah oleh perbedaan di media sosial. Mereka aktif membangun jembatan, kita?

2. Jadilah Pahlawan di "Panggung"-mu Sendiri. Seperti Sie Kong Lian, kamu tidak perlu jadi presiden untuk berkontribusi. Kontribusimu di komunitas, lingkungan, atau bidang keahlianmu, sama berharganya.

3. Berani Berdegan dengan Ide, Bukan Ego. Perdebatan tentang bahasa adalah debat ide yang sehat untuk mencari solusi terbaik. Mereka berdebat untuk memenangkan bangsa, bukan memenangkan argumen pribadi.

4. Kreatif dalam Berjuang. Memainkan Indonesia Raya secara instrumental adalah bentuk kreativitas dan strategi di bawah tekanan. Zaman sekarang, kita bisa berjuang melalui tulisan, seni, teknologi, dan kewirausahaan.

Jadi, Sumpah Pemuda bukanlah relikui masa lalu yang usang. Ia adalah sebuah playbook tentang bagaimana pemuda dari berbagai latar belakang bisa duduk bersama, berdebat, berkompromi, dan akhirnya bersepakat untuk menciptakan sebuah narasi besar bernama Indonesia.


Sumber: Buku-buku sejarah, catatan museum Sumpah Pemuda, dan artikel jurnal tentang Kongres Pemuda II.


|Lp

Posting Komentar

0 Komentar