Asmara dalam pusaran zaman



_Pertemuan di Perpustakaan

   Langit sore Yogyakarta berwarna tembaga, ketika sinar matahari terakhir menembus kaca-kaca tinggi perpustakaan di sebuah Universitas ternama di indonesia. Bau kertas tua bercampur dengan suara samar mahasiswa yang masih sibuk mencatat. Aria Pramudya duduk di sudut ruangan, tenggelam dalam buku tebal tentang filsafat politik.


Di hadapannya terhampar catatan tangan rapi dengan tulisan miring ke kanan. Pena hitamnya menari cepat, seolah setiap kalimat yang ia baca harus segera diikat ke dalam pikiran. Sesekali ia berhenti, menatap kosong ke arah jendela. Sejak kecil, ia selalu punya kebiasaan seperti itu: membaca, berhenti, lalu membiarkan pikirannya mengembara.


Hari itu, pikirannya bukan hanya tentang buku. Ia tahu, di luar sana situasi politik semakin bergejolak. Diskusi-diskusi di warung kopi makin sering menyebut kata “ideologi”, “perjuangan rakyat”, bahkan “pengkhianatan”. Sebagai mahasiswa, Aria tak pernah bisa menutup telinga dari semua itu.


Namun sore itu, ada sesuatu—atau seseorang—yang menarik perhatiannya lebih dari isu-isu politik.


Seorang gadis baru saja masuk, membawa beberapa buku tebal di pelukannya. Rambut hitamnya digerai sederhana, wajahnya bersih tanpa banyak hiasan. Ia tampak kesulitan mencari tempat duduk karena hampir semua meja sudah terisi. Matanya lalu tertumbuk pada kursi kosong di depan Aria.


“Permisi, kursi ini kosong?” suaranya lembut, tapi cukup jelas memecah kesunyian.


Aria mengangkat kepala. Sekilas, ia ingin berkata singkat saja, tapi tatapan gadis itu membuatnya urung bersikap dingin.

“iya, silakan,” jawab Aria, sambil menutup bukunya.


Gadis itu tersenyum tipis, lalu duduk. Dari dekat, Aria bisa melihat garis tegas namun halus di wajahnya. Ada sesuatu yang menenangkan, sekaligus menantang.


“Belajar filsafat?” tanya gadis itu, melirik buku di meja.


Aria mengangguk. “Ya. Kadang terasa berat, tapi selalu menarik. Filsafat itu seperti cermin, memaksa kita menatap diri sendiri.”


Gadis itu menunduk, tersenyum samar. “Saya Saras. Fakultas Sastra.”


“Aria. Fakultas Hukum.”


Hening sesaat, hanya terdengar suara lembaran kertas dibalik. Lalu Saras kembali bicara. “Saya lebih suka sastra daripada filsafat. Rasanya lebih… manusiawi. Filsafat sering terasa kaku.”


Aria menatapnya sebentar. “Sastra bicara tentang perasaan, filsafat bicara tentang pikiran. Tapi dua-duanya sama-sama mencari kebenaran.”


Saras menoleh. Tatapannya dalam, seolah sedang menilai apakah lelaki di depannya bicara dengan sungguh-sungguh atau hanya sekadar menggombal dengan teori. Namun ketika melihat keseriusan di mata Aria, ia hanya tersenyum kecil.


Hari itu percakapan mereka berlangsung singkat, hanya sebatas buku dan perkuliahan. Namun saat Saras pamit, Aria merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. Ia menutup bukunya, tapi pikirannya tetap terbuka—bukan pada filsafat, melainkan pada senyum seorang gadis.



---


Malamnya, di asrama, Aria duduk bersama Raka, sahabat dekatnya.


“Wajahmu itu, Ri, seperti orang baru jatuh cinta,” goda Raka sambil menepuk bahunya.


Aria tersenyum tipis. “Aku bertemu seorang gadis di perpustakaan. Saras namanya.”


“Wah, akhirnya! Kukira kau akan selamanya menikah dengan buku.”


Aria hanya menggeleng. Namun jauh di dalam hati, ia tahu pertemuan itu bukan kebetulan. Ada sesuatu dalam diri Saras yang membuatnya ingin tahu lebih jauh.


Tapi, di tengah rasa hangat itu, Aria juga merasakan bayangan gelap. Ia tahu, zaman tidak sedang ramah untuk cinta sederhana. Setiap hubungan bisa saja terseret ke pusaran politik. Ia sudah mendengar kabar: ada mahasiswa yang ditangkap hanya karena ikut diskusi.


Dan benar saja, beberapa hari kemudian, saat ia kembali bertemu Saras di kampus, ia menyadari sesuatu. Saras tidak hanya seorang gadis sastra yang lembut; ayahnya adalah seorang pegawai negeri yang cukup dekat dengan lingkaran kekuasaan.


“Kalau ayah tahu aku sering bicara dengan mahasiswa hukum yang kritis seperti kamu,” kata Saras setengah bercanda, “mungkin beliau akan khawatir.”


Aria terdiam. Ada senyum di bibir Saras, tapi juga ada nada serius di balik kata-katanya.


Hati Aria bergetar—antara cinta yang baru tumbuh dan bahaya yang bisa datang kapan saja. Ia tahu, jalan di depan mereka tidak akan mudah. Namun entah kenapa, ia tidak ingin mundur.


Matahari sore kembali menutup pertemuan mereka. Aria melangkah pergi dengan hati yang berat namun penuh harapan. Dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri: Apa pun yang terjadi, aku akan melindungi gadis itu. Bahkan jika harus melawan arus sejarah.

Posting Komentar

0 Komentar