Jika Tan Malaka yang jadi Presiden


Liwaq Pena - Bayangkan Indonesia di tahun-tahun awal kemerdekaan. Bendera merah putih baru saja dikibarkan, euforia rakyat meluap, tetapi di balik itu ada bayangan panjang: ketidakpastian, konflik ideologi, dan ancaman kolonial yang ingin kembali. Dalam sejarah nyata, nama Soekarno-Hatta mengisi panggung utama. Namun mari kita alihkan jalan cerita. apa jadinya jika Tan Malaka yang duduk di kursi presiden pertama Indonesia?

Relasi Nasional. (2025). Tan Malaka Bapak Republik yang Terlupakan dalam Sejarah Indonesia. Diakses pada 16 September 2025 dari https://www.relasinasional.com


Sebagai presiden, Tan Malaka kemungkinan besar tidak akan menjadikan dirinya pusat kharisma politik seperti halnya Soekarno. Ia lebih mengutamakan pendidikan dan pengorganisasian rakyat. Negara Indonesia di bawah kepemimpinannya akan dibangun dengan fondasi cetak-massa melek huruf, berpikir kritis, dan mandiri secara ekonomi. Mungkin slogan utamanya bukan “merdeka atau mati”, melainkan “merdeka dan berilmu”.


Ia akan menolak kompromi panjang dengan Belanda. Tidak ada perjanjian Linggarjati atau Renville yang memotong wilayah republik. Tan Malaka percaya bahwa kemerdekaan adalah harga mati, tidak untuk ditukar dengan diplomasi setengah hati. Maka, masa awal republik bisa jadi lebih berdarah, lebih penuh perang gerilya, tetapi rakyat akan merasakan kepemimpinan yang teguh, tanpa ruang abu-abu.


Di sisi lain, sebagai presiden, ia akan membawa perspektif kiri yang kuat, tetapi tidak identik dengan komunisme ala Moskow. Ia tidak akan tunduk pada PKI, justru mungkin membangun sosialisme ala Indonesia. berpijak pada gotong royong, koperasi, dan ekonomi kerakyatan. Kepemilikan tanah yang timpang bisa lebih cepat direformasi, sehingga kesenjangan sosial tidak menumpuk sedalam yang kita kenal hari ini.


Hubungan internasional pun akan berbeda. Alih-alih menyeimbangkan antara Blok Barat dan Timur seperti yang dilakukan Soekarno, Tan Malaka mungkin akan lebih dekat dengan gerakan revolusi Asia-Afrika dan dunia ketiga. Ia akan menggaungkan solidaritas antarbangsa tertindas, bukan hanya lewat pidato membakar semangat, tapi juga melalui jaringan bawah tanah yang sejak lama ia bangun ketika menjadi buronan internasional.


Namun, kepresidenan Tan Malaka tidak akan tanpa risiko. Karakternya yang keras, teguh, dan sering menolak kompromi mungkin membuat banyak lawan politik berusaha menjatuhkannya lebih cepat. Bisa jadi, konflik dengan kelompok moderat seperti Hatta atau Sjahrir akan semakin tajam. Bahkan mungkin militer tidak akan mudah tunduk padanya, karena gaya kepemimpinannya tidak memberi ruang besar untuk elit bersenjata.


Tapi jika ia berhasil bertahan, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih egaliter sejak awal, dengan rakyat pekerja sebagai pusat kebijakan. Pendidikan gratis, tanah untuk petani, dan ekonomi berbasis koperasi mungkin bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan sehari-hari.


Akhirnya, membayangkan Tan Malaka sebagai presiden adalah membayangkan Indonesia yang berdiri lebih tegas, lebih radikal, tetapi mungkin juga lebih cepat menemukan jalannya menuju kemandirian sejati. Ia adalah sosok yang memilih mati di ujung senjata daripada tunduk pada kompromi. Seandainya ia yang memegang tampuk presiden, mungkin Indonesia akan dikenal bukan hanya sebagai bangsa merdeka, tetapi sebagai bangsa yang sejak awal menolak tunduk pada segala bentuk penindasan.



Tupai

Posting Komentar

0 Komentar