Sejarah adalah percabangan kemungkinan. Di satu jalur, Indonesia merebut kemerdekaannya pada 1945, menulis babak baru dengan darah dan pengorbanan. Namun di jalur lain yang tak pernah terwujud, bisa kita bayangkan. bagaimana jika Hindia Belanda tetap menduduki negeri ini hingga hari ini?
Pertama-tama, identitas kebangsaan kita mungkin tidak pernah lahir sebagaimana sekarang. Kata “Indonesia” barangkali hanyalah istilah geografis di atlas, bukan nama sebuah bangsa merdeka. Rakyat akan tetap dipandang sebagai “inlander,” sebuah kelas kedua dalam struktur kolonial. Bahasa Indonesia, yang menjadi perekat nasional, mungkin tidak akan berkembang menjadi bahasa resmi. Mungkin kita akan dipaksa sepenuhnya menggunakan bahasa Belanda dalam birokrasi, pendidikan, dan hukum, sementara bahasa daerah perlahan terkikis dalam arus modernisasi ala Eropa.
Secara ekonomi, negeri ini mungkin terlihat “maju” di permukaan jalan raya rapi, kereta cepat menghubungkan kota-kota, dan pusat-pusat dagang sibuk dengan ekspor rempah, minyak, dan batubara. Namun di balik kilau itu, hasil kekayaan alam tetap mengalir ke Amsterdam, Rotterdam, atau Den Haag. Rakyat pribumi tetap menjadi buruh murah di tanah mereka sendiri, tanpa akses luas pada kepemilikan modal atau tanah. Jurang kelas menjadi semakin dalam. segelintir elit kolonial menikmati kemewahan, sementara mayoritas hidup dalam kemiskinan struktural.
Politik akan terasa beku. Tidak ada pemilu langsung, tidak ada partai politik rakyat, dan tidak ada kesempatan bagi pemimpin lokal untuk tumbuh. Sosok-sosok seperti Sukarno, Hatta, atau Tan Malaka mungkin hanya dikenal sebagai “troublemakers” yang ditangkap dan dibuang jauh. Indonesia mungkin hanya menjadi koloni strategis yang dikendalikan dari Eropa, mirip dengan status beberapa wilayah jajahan hingga akhir abad ke-20.
Namun yang paling menyedihkan adalah hilangnya harga diri bangsa. Generasi demi generasi tumbuh tanpa pernah tahu apa artinya berdiri di atas kaki sendiri. Nasionalisme mungkin tetap muncul sebagai bara kecil, tetapi akan terus dipadamkan dengan represi. Kita akan kehilangan kesempatan membangun kebudayaan yang bebas, musik yang lahir dari keresahan rakyat, sastra yang merefleksikan penderitaan bangsa, bahkan bendera merah putih yang kita kibarkan setiap Agustus mungkin tak pernah ada.
Pada akhirnya, bayangan ini menegaskan satu hal kemerdekaan bukan sekadar simbol atau romantisme sejarah, melainkan syarat mutlak agar sebuah bangsa bisa menentukan arah hidupnya sendiri. Jika Hindia Belanda masih menduduki Indonesia hingga kini, mungkin kita tidak pernah benar-benar mengenal diri kita sebagai bangsa kita hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah kolonialisme dunia.
0 Komentar
Terimakasi Atas Partisipasinya Kawan